Selasa, 17 Oktober 2017

Mencintaimu, Aku Harus Tahu Batas

Aku mencintaimu, sungguh.
Namun dengan segala macam kemungkinan ketidakberpihakan takdirNya pada kita, aku ingin mencintaimu dengan tahu diri dan tahu batas.
Aku harus tahu kapan waktuku untuk berhenti memberi.
Memberi kabar,
Perhatian,
Peduli,
Janji,
Bahkan bila itu hanya sekadar puisi.
Aku harus tahu kapan waktuku untuk berhenti berharap lebih.
Bahwa pada satu titik, aku harus rela melepaskanmu dan melanjutkan hidupku.
Meski dengan sakit yang begitu nyeri.
Aku harus tahu kapan saatnya aku harus tersenyum ketika mengingatmu. Karena mengenang yang sudah terjadi, pada beberapa hal, jelas lebih baik daripada berandai-andai bagaimana seandainya hal tersebut terjadi.
Sesal karena tidak pernah mencoba, pasti tidak menyenangkan untuk diingat berulang kali.
Aku pun harus tahu, kapan waktu yang tepat untuk membuka diri setelah mencintaimu sepenuh hati.
Karena bila bukan denganmu aku dijodohkanNya, kita tak akan sampai ke mana-mana.
Pada akhirnya, mencintaimu aku harus selalu tahu batas.
Tahu kapan kau harus kuperjuangkan karena kau memang pantas, dan tahu kapan harus pergi, karena ternyata kita adalah pasangan sepintas.


Minggu, 15 Oktober 2017

Mazhab?

Selamat malam Tuan..
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku barang sebentar,
Fikiranku berporos padamu..
Tidak,
Ini bukan perihal bangku taman atau sorot kerlap-kerlip lampu di malam ini.
Ini perihal rindu.
Seharusnya aku sudah beranjak pergi dan melupakanmu.
Benar,
Aku harus menuruti keinginan abah dan para asatidz yang selama ini telah banyak menolong kami.
Aku bisa saja merubah keseluruhan tata cara ibadahku, tapi tak bisa ku ubah ingatanku tentangmu.

Benar Tuan,
Aku mencintaimu..
Aku mencintaimu melebihi aku mencintai diriku sendiri.

Tapi aku hanyalah seorang pengecut,
Aku tak mampu berkorban untuk KITA.

Kau boleh sebut aku si gadis plin-plan
Kau boleh sebut aku tak sayang.
Little did you know,
Melepaskanmu adalah bukti pengorbananku.

Kau tak usah khawatir Tuan,
Aku tak akan melupakanmu.
Hidup terus berjalan..
Hati bisa berubah..
Luka akan sembuh..
Degup jantung akan reda seiring waktu.

Tapi Tuan,
Jika suatu hari nanti telah kau temukan tambatan hatimu,
Yang akan menemanimu,
Senantiasa mencintaimu dan menyayangimu melebihi aku.
Jangan sia-siakan dia ya!

Tuan ini sakit,
Tak pernah ada kisahnya seorang perempuan salafi yang jatuh cinta kepada seorang pemuda Syiah.
TAK ADA TUAN!
Ibarat masyriq wal maghrib..
Salafi & Syiah tidak akan pernah bertemu.
Sekalipun aku tasayyu,
Toh hakikatnya aku Salafi.
Aku terlahir Salafi,
Sama halnya dirimu kan?
Kau terlahir Syiah, betul?
Lalu sekarang siapa yang harus disalahkan?
Takdir?

TUAN, KAU BODOH!
KAU MENCINTAI PEREMPUAN SALAFI YANG TIDAK ADA KELEBIHANNYA SAMA SEKALI!
TUAN, AKU INI BESAR SEBAGAI WARGA MUHAMMADIYAH,
AYAHKU SALAH SEORANG JAMAAH DEWAN DAKWAH INDONESIA.
MANHAJKU SALAFIYAH,
AKU INI BERTENTANGAN 180 DERAJAT DENGANMU!!!

DAN AKU?
AKU INI BODOH!!!
AKU MENCINTAI PEMUDA SYIAH?
YANG PERNAH MENGENYAM PENDIDIKAN DI PUSAT SYIAH?
SEORANG MURID HAWZAH?
ANAK DARI SEORANG DAI SYIAH YANG BERTENTANGAN DENGANKU?

Apa ini Tuan?
Mengapa begini Tuan?

Pergilah Tuan,
Jemput tangan Abbas,
Salam atas kedua tangan terputus di sungai Eufrat.

Pergilah Tuan,
Sambut Al-Muntazar,
Sang pemilik Zaman.
Imam penegak keadilan.

Sudah ah,
Wassalam


Selasa, 15 November 2016

It's all my fault.

Hay, lelaki sipit yang selalu muncul di angan-anganku beberapa hari ini.


Aku tau, naif memang jika aku menuliskan namamu disetiap catatanku.
Tapi aku hanya ingin tahu..
Bagaimana kabarmu?
Kau baik-baik saja kan?
Aku ingin tau masihkah kau ingat kejadian belum lama ini?

Ya..
Kau buat aku terbang tinggi melampaui galaksi terjauh, lalu kau biarkan aku terhempas, jatuh dibawah bintang-bintang.

Sekarang setelah berdarah-darah, aku yang malang ini kebingungan harus mengadu pada siapa...
.
.
.
.
.
.
Kau sama sekali tidak tampan, kau lelaki biasa saja, kau tidak seheboh dan sekeren teman-temanmu, tapi kau baik, kau ramah, kau perhatian. Walaupun kini aku tersadar, itu memang sifat bawaanmu.
Kau baik pada dia, dia dan semua orang. Kau baik pada siapapun..
Kenapa aku harus salah mengartikan? Kenapa aku sebodoh ini? Membangun rasa yang tak karuan ini dan menghancurkan tembok pertemanan yang sudah dibangun sejak lama?

Maklum kau menghindar, maklum kau menjauh, maklum kau tidak mengenalku lagi, maklum kau tak seramah dulu lagi, maklum.
Aku harus maklum.


Ingin rasanya mendekat seperti dulu..
Iya, seperti awal-awal mengenalmu, belum ada jaim diantara kita.
Tapi benar-benar berat, entahlah.

Gengsi? Tidak.
Aku sadar diri kok, aku ini apasih? Hanya sekedar debu yang lewat dan kau sudah menutup jendelamu rapat-rapat.
Sedangkan dibalik jendelamu ada puluhan bahkan mungkin ratusan wanita cantik dari keluarga baik-baik sedang bersamamu.

Tapi tak mengapa, sudah sekian tahun aku tak merasakan perasaan seperti ini, aku rindu disaat-saat aku harus jatuh cinta, disaat-saat aku akan terus memikirkan orang yang aku cintai, tersipu malu ketika ayah dan teman-temanku menyadarkanku dari lamunanku, mendengarkan lagu-lagu jatuh cinta, melihat dunia ini sebagai tempat yang indah setelah sebelumnya aku merasa dunia ini hitam.
.
.
.
Aku rindu disaat-saat aku harus terbangun disepertengah malamku, menangisi perasaan2 yang tak pernah terbalas.
Disetiap derai mata yang jatuh, aku juga sudah banyak mengambil pelajaran. Bahwa hati dan perasaanku masih berfungsi dengan baik.

Aku tahu, IT'S ALL MY FAULT.
Aku yang membukakan pintu hatiku lebar2, aku yang mulai berekpetasi, aku yang mulai mengsalah-artikan, aku yang mulai menerka-nerka, aku yang mulai berangan-angan. Dan seharusnya aku sudah siap dengan konsekuensi yang ada.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih ya sudah pernah hadir disaat cahaya ini hampir redup, walaupun hanya sesaat.
Nyatanya kau mampu membawa kembali cahaya yang pernah hilang...

Dan biarlah rasa ini ada dan tersimpan rapih tanpa harus kau balas, biarkan ia terus mengalir mengikuti arusnya.
Sampai suatu saat rasa ini bertemu muara atau malah tersangkut diakar-akar lain.